Sering
yang menjadi problem berat kita adalah kemauan untuk memaafkan kesalahan orang
lain. Berat ringannya kemauan memaafkan itu terkait dengan besar kecilnya rasa
kesal, atau dendam kita terhadap seseorang. Semakin dalam rasa kekesalan,
kebencian, dan permusuhan kita pada seseorang, maka semakin berat kita untuk
memaafkan.
Secara
psikologis, yang mendapatkan keuntungan dari sikap memaafkan orang itu yang
pertama adalah pihak yang memaafkan, bukan yang dimaafkan. Secara psikologis,
bukankah benci itu suatu beban yang memberatkan kita? Rasa benci itu juga
bagaikan luka. Bila kebencian kita pelihara, sama saja kita memelihara luka
diri. Dan bila kebencian telah berubah menjadi dendam yang menuntut balas, maka
luka itu semakin kita perdalam dan semakin perih kita rasakan sebelum dendam
terlaksana. Namun ketika dendam telah terlaksana, benarkah luka atau beban yang
berat dipikul kemana-man tadi akan hilang? Pengalaman mengatakan: “tidak”, dan
permusuhan akan meningkat, yang berarti semakin dalam kita menyayat kulit hati
yang telah luka dan perih tadi. Semakin sakit, khan?
Jadi,
bukankah memafkan itu sesungguhnya suatu terapi jitu untuk kesehatan kita?
Begitu kita memafkan orang, maka beban berkurang, luka membaik. Dan bila benci serta
dendam telah hilang sam sekali dari hati kita, maka betapa sehat dan ringannya
kita menjalani hidup ini.
Menurut
Harun Yahya Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan
oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah
dari keping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana
kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak
jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah
pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan
jantung.
Dalam
bukunya, Forgive for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin
menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan
kebahagiaan. Buku tersebut memaparkanbagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya
keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan
mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr.
Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati
pada diri seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:
Permasalahan
tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah
melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda
terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari
seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang
membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir
jernih – memperburuk keadaan.
Jadi,
kalau kita ingin sehat jadilah pribadi pemaaf.
Apabila
kita sudah terkondisi saling memaafkan, maka suasana psikologis kita menjadi
bersih, kembali asal fitrahnya yang memang bersih, ikhlash, dan lugas bagaikan
bayi.
Betapa
indahnya prilaku bayi yang baru lahir. Apapun yang dilakukan serba indah dan
alami. Orang tua tak akan marah meskipun sang bayi kencing sewaktu digendong.
Mengapa begitu? Ada perasaan tulus, ikhlash, dan segala perbuatannya serba
lugas. Hati terbebas rasa benci, selalu bersikap mencintai dan penuh maaf.
Lalu,
bagaimana cara kita memaafkan orang lain?
Mudah
sekali.. Anda hanya perlu membayangkan semua kesalahan yang orang tersebut
lakukan kepada Anda. Kemudian ikhlas dan serahkan perasaan negatif tersebut
hanya kepada Allah sembari berkata;
Ya
Allah, maafkan aku bila aku masih mempunyai perasaan marah ini kepada ….(subjek
yang membuat kita marah) karena… (perbuatan atau hal-hal yang membuat kita
marah), padahal aku tahu sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf dan Maha
Pemurah
Ya
Allah meskipun aku masih merasa marah, aku tetap ikhlaskan dan pasrahkan
perasaanku ini kepada Mu
Lakukan
hal tersebut dengan khusu, penuh konsentrasi dan yakinlah bahwa semua perasaan
negatif itu akan hilang dan teratasi sekarang dan sekaligus.
Mulai
saat inilah tidak ada kata terlambat bagi kita untuk selalu introspeksi diri,
sejauh mana dada dan hati kita memaafkan kesalahan orang lain atau meminta maaf
atas segala kesalahan kita. Hindari sikap egoisme dalam diri yang membuat
setiap manusia lupa akan hakikat jati dirinya. Karena manusia yang besar adalah
manusia yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, tidak mudah marah, lapang dada
dan hatinya, serta selalu mementingkan manfaat bagi orang banyak.
Betapa
indahnya kalau saja hidup dan pergaulan kita bertaburan cinta kasih yang tulus.
Tiada dendam, benci, …..yang ada hanyalah ketulusan cinta.
Selamat
mencoba dan semoga bermanfaat..
sumber: klinikhati.posterous.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar